Upaya penanganan permasalahan sosial, pada
dasarnya tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab
pemerintah bersama masyarakat. Masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial,
hal mana tercermin dalam salah satu klausul Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun
2009 Tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam Undang-Undang tersebut pada Bab VII
mengenai peran masyarakat terdiri dari pasal 38 s/d pasal 45. Pasal 38 ayat (1)
berbunyi : masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Peran sebagaimana yang dikemukakan
pada ayat (1) tersebut dapat dilakukan oleh : perorangan; keluarga; organisasi
keagamaan;, organisasi sosial kemasyarakatan; lembaga swadaya masyarakat;
organisasi profesi; badan usaha; lembaga kesejahteraan sosial; dan lembaga
kesejahteraan sosial asing.
Pembangunan kesejahteraan sosial adalah
usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi berbagai bentuk intervensi
sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan
mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial (Suharto,
2006 : 4). Lebih lanjut dikemukakan bahwa ciri utama pembangunan kesejahteraan
sosial adalah komprehensif dalam arti setiap pelayanan sosial yang diberikan
senantiasa menempatkan penerima pelayanan sebagai manusia, baik dalam arti
individu maupun kolektivitas, yang tidak terlepas dari sistem lingkungan
sosiokulturalnya. Sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yang biasanya
dikenal dengan nama Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) antara lain
meliputi orang miskin, penyandang cacat, anak jalanan, anak yang mengalami
perlakuan salah, pasangan yang mengalami perlakuan salah, anak yang
diperdagangkan atau dilacurkan, komunitas adat terpencil (KAT), serta
kelompok-kelompok lain yang mengalamimasalah psikososial, disfungsi sosial atau
ketunaan sosial.
Orsos (Organisasi Sosial) merupakan
dimensi pola perliaku dan interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan kata lain bahwa setiap masyarakat memiliki Orsos sebagai wadah
peranserta masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Dalam Pola
Pembangunan Kesejahteraan Sosial (2003 : 29 ) dikemukakan mengenai definisi
Organisasi sosial adalah suatu perkumpulan yang dibentuk oleh masyarakat baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai
sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan usaha kesejahteraan sosial.
Seperti kata Jones, tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial, yang pertama dan utama, adalah penanggulangan kemiskinan
dalam segala bentuk manifestasinya.1 Maknanya, meskipun pembangunan
kesejahteraan sosial dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas, target
utamanya adalah para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan. Sosial
(PPKS), yakni mereka yang termasuk kelompok kurang beruntung (disadvantaged
groups), seperti orang miskin, anak-anak dan wanita korban tindak kekerasan,
anak jalanan, pekerja anak, orang dengan kemampuan berbeda (difabel), serta
kelompok rentan dan marjinal lainnya. Pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi
sosial, bantuan sosial, asuransi sosial, jaring pengaman sosial, dan penguatan
kapasitas kelompok marjinal adalah beberapa contoh program pembangunan
kesejahteraan sosial.
Di negara-negara maju, terutama yang
menganut ideologi ‘kesejahteraan negara’ (welfare state),2 pembangunan
kesejahteraan sosial merupakan wujud dari kewajiban negara (state obligation)
dalam menjamin hak-hak dasar warga negara.
Di Indonesia, meskipun konstitusinya
secara de jure (legal-formal) merujuk pada sistem kesejahteraan negara,
implementasi dari pembelaan negara terhadap hak-hak fakir miskin, anak telantar
dan penyelenggaraan jaminan sosial masih dihadapkan beragam tantangan.
Selain pemahaman dan komitmen
penyelenggara negara terhadap pembangunan kesejahteraan sosial masih belum
solid, faham neo-liberalisme yang mengedepankan kekuatan pasar, investasi modal
finansial, dan pertumbuhan ekonomi agregat dianggap lebih menjanjikan
kemakmuran dibandingkan dengan pendekatan kesejahteraan sosial yang mengedepankan
keadilan sosial, investasi sosial dan penguatan kapasitas sumberdaya manusia.
Desentralisasi yang terutama digerakan oleh globalisasi pada aras internasional
dan reformasi pada aras nasional, mencuatkan isu-isu yang mempengaruhi
perkembangan kesejahteraan sosial di daerah.
Kesejahteraan dan keadilan merupakan kata
kunci dari sebuah bangunan masyarakat sipil (civil society) yang
gilang-gemilang. Dalam membangun masyarakat seperti ini, yang dibutuhkan bukan
hanya pemenuhan hak sipil dan politik, tetapi juga pemenuhan hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Memang kedengarannya merupakan hal mudah untuk
mewujudkannya, apalagi bila diukur dari keberhasilan perjuangan masyarakat
sipil (civil society) dalam meruntuhkan rezim otoriter Orde Baru tahun 1998.
Dalam kenyataannya tidaklah demikian,
meski proses demokratisasi telah bergulir cepat, tapi di sisi lain proses
melemahnya birokrasi negara menjadi lahan empuk masuknya globalisasi. Ini
berimplikasi pada pemotongan pengeluaran pemerintah untuk pelayanan sosial,
seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk
safety-net bagi orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk
infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, dan air bersih. Untuk mengatasi
masalah ini, tidak bisa dibebankan kepada birokrasi pemerintah saja, atau pada
elemen masyarakat sipil (civil society) saja. Sudah saatnya ada kerjasama nyata
diantara keduanya dalam mewujudkan kesejahteraan dan kegemilangan bersama.
Untuk itu, posisi masyarakat sipil (civil society) perlu digeser untuk lebih
berperan sebagai komplemen (dan juga suplemen) terhadap peran yang dilakukan
oleh birokrasi pemerintah. Pada saat yang sama, birokrasi pemerintah juga
menjadi pemerintahan yang civilian government.
0 comments:
Post a Comment